Bata Merah Sukaraja, Perajinnya Kesulitan Permodalan
Ditengah menjamurnya program bantuan untuk kelompok usaha mikro kecil dan koperasi, ternyata belum menembus kehidupan para perajin batu bata merah di Desa Sukaraja Kecamatan Malingping Kabupaten Lebak. Dari usaha kerajinan batu bata merah inilah, sejatinya laju perekenomian desa, menggeliat. Tidak seperti saat ini, mereka banyak yang terjerat pinjaman dana tengkulak.
Informasi yang diperoleh Banten Ekspose, 70 persen penduduk dari 18 RT yang ada, mayoritas menjadikan usaha batu bata merah, sebagai sandaran ekonomi keluarga. Untuk lebih memaksimalkan usaha ekonomi warga Desa Sukaraja Malingping, umumnya perajin mengeluhkan persoalan biaya produksi. Solusinya, ya mereka pinjam ke tengkulak. Diakui para perajin, bahwa hal tersebut tidak banyak memberikan nilai lebih atas produksi mereka.
Para perajin bata merah di desa ini, umumnya mengembalikan pinjaman dana untuk ongkos produksi kepada tengkulak, dengan cara menjual hasil produksi mereka ke tengkulak. Tentu saja, harga ditentukan oleh tengkulak. Mereka umumnya menjual Rp 230 hingga Rp 280 per biji. Padahal harga yang jatuh ke konsumen mencapai angka Rp 350 hingga Rp 400 per bijinya. Bila saja, komunitas perajin bata merah ini terorganisir, tidak menutup kemungkinan mereka merasakan nilai lebih, yang kini banyak dinikmati para tengkulak.
Sebut saja Mahmud. Pria berusia 31 tahun ini, merupakan salah seorang pengusaha sekaligus perajin bata merah, yang kini mempunyai 3 areal percetakan bata. Untuk mengelolanya, warga Kp Sukaraja ini, dibantu oleh lima orang. Rata-rata satu orang pekerja bisa menghasilkan 700 hingga 800 batang perhari.
Dalam pengakuan Mahmud, untuk biaya produksi bata merah miliknya dia mesti meminjam modal dulu kepada tengkulak. Pinjamanya berpariatif Rp 3 - 4 juta rupiah. Modal pinjaman itu pula, yang dijadikan dana honor lima pembantunya.
“Saya sangat berharap adanya bantuan berupa permodalan dari pemerintah, agar usaha yang saya tekuni ini tidak stagnan, kalau keadaannya seperti ini terus kami akan kesulitan dalam pengembangan usaha,” tuturnya.
Dikatakan, usaha cetak bata merah ini, merupakan turun tumurun warga desa. Karena hamper tidak ada lagi potensi yang dapat dikembangkan di desa ini selain usaha batu bata. Selain tanahnya cocok, juga mengandung pasir.
“Salah satu bahan percetakan bata merah tentu harus memilih tanah merah lempung yang mengandung pasir, agar hasilnya bisa maksimal artinya setelah proses pembakaran tidak retak-retak,” ujarnya.
Hal senada juga dikatakan perajin bata merah lainnya Suhaya (45 thn). Usaha yang ditekuninya kini merupakan andalan untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya karena di desanya menjadi petani kurang produktip. Selain kondisi tanah, menjadi petani sawah hanyalah sewaktu-waktu saja ketika cuaca buruk menimpa produksi perajin.
“Biasanya di musim hujan, produksi bata merah agak lambat. Hal ini disebabkan proses pengeringan yang lama memakan waktu 2 minggu hingga satu bulan,” ujarnya.
Kepala Desa Sukaraja Adung membenarkan bahwa hampir 70% warga desa menggantungkan ekonominya dari usaha kerajinan batu bata merah, sisanya pegawai swasta, petani dan PNS.
“Saya berharap, berharap pemerintah dapat memberikan bantuan modal terhadap para perajin yang berada di desa Sukaraja. Hal ini untuk mendorong perekonomian desa maupun di Kabupaten Lebak. Apalagi bata merah asal Sukaraja banyak diminati,” katanya.
Proses pembuatan
Tanah merah yang mengandung pasir terlebih dahulu digali lalu dicampur air diaduk dibuat lembek (dibuat adonan). Sesudah selesai pengadukan ini, dibiarkan dulu selama satu malam, agar kadar air dipastikan tidak terlalu lembek dan setelah itu baru dikerjakan menurut ukuran pembuatan bata.
Proses ini dilakukan dengan peralatan sederhana. Rata-rata kalau sehari bisa menghasilkan 800 batang/hari. Kalau ingin maksimal bisa menggunakan teknologi modern yaitu menggunakan mesin molen.
Setelah tanah yang dicetak bata tersebut sudah menjadi batangan, maka tinggal menuggu proses pengeringan.
Kalau musim kemarau untuk proses pengeringan ini hanya memakan waktu satu minggu, namun kalau musim penghujan proses ini bisa mencapai sebulan.
Setelah batangan bata ditaksir cukup kering, proses selanjutnya adalah pembakaran melalui tungku yang sudah disiapkan, hingga bata betul-betul matang. Hasil yang bagus, biasanya bata berwarna kemerahan dan tidak ada retak-retak. (Matin)