Diberdayakan oleh Blogger.
Meretas Jalan Masa Depan

Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah

Jumat, 29 Mei 2009

Quo Vadis Pasar Tradisional di Banten

Oleh Bambang DS

Setelah berdirinya supermarket lokal HERO, Gelael, pada tahun 70-an, menyusul Kem Chick dan Grasera mulailah geliat pasar modern selalu berkembang. Para pemain pasar modern paham benar tentang karakteristik belanja orang Indonesia yang snobish, yaitu perilaku pembelian irrasional karena dipengaruhi gengsi. Maka pasar modern pertama dengan luas lantai 10.000 m2, Makro berdiri pada awal 1990-an.

Pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang , harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional.

Sayangnya walaupun menyandang keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Dengan semakin pandainya konsumen menuntut ’nilai lebih’ atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional.
Hal lain yang memperburuk citra pasar tradisional yang likakukan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Kenyataan lain yang tidak dapat dipungkiri, Indonesia adalah negara dengan mayoritas konsumen berasal dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ini menjadikan konsumen Indonesia tergolong ke dalam konsumen yang sangat sensitif terhadap harga. Kekuatan faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relatif tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah ke bawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradisional. Ijikanlah melalui uraikan berikut saya akan mencoba melihat bagaimana mencari jalan keluar agar pasar tradisional dan pasar modern berjalan secara mutualis symbioalis.

Karakteristik

Pasar tradisional merupakan tempat perjumpaan pedagang dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Sedangkan Pasar modern adalah pasar yang penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga .

Permasalahan segera timbul tatkala pasar modern sedikit demi sedikit mulai menggerus keberadaan pasar tradisional. Dengan kondisi dan suasana belanja yang lebih bersih, nyaman, serta segala yang diperlukan ada di sana, membuat orang cenderung untuk meninggalkan pasar tradisional. Di sisi lain, makin lama barang - barang yang diperjualbelikan di pasar modern dan pasar tradisional pun hampir mirip. Bahkan harganya pun cenderung bersaing dengan pedagang di pasar tradisional dan bahkan pada beberapa kasus harga di pasar modern jauh lebih murah.

Regulasi

Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis.

Setelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu.

Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya.

Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket merupakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan supermarket (3.5%).

Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.
Metamorfosis

Jika kita melihat fakta bahwa regulasi seperti telah saya sebut diatas hampir-hampir tidak dapat manahan keruntuhan pasar tradisional maka kunci keberlangsungan hidup pasar tradisional adalah bermetamorfosis. Merubah diri dengan tuntutan selera konsumen yang ingin harga murah tetapi nyaman. Jati diri pasar tradisional yang terjalin keakraban antara pedagang dan pembeli harus disinergikan dengan kenyamanan dan kebersihan sebagai atmosfer lingkungan pasar.

Disinilah peran pemerintah daerah sebagai pemicu tersedianya infrastruktur perekonomian pada lingkup kabupaten/kota di Banten amat dinantikan. Desain pasar harus memperhatikan konsep atmosfer modern, bersih, nyaman, dan aman. Citra pasar yang becek, bau dan hal-hal negatif lainnya akan hilang. Disamping itu tersedianya komoditas lokal dari mulai sayuran, buah-buahan perlu didorong oleh pemerintah daerah melalui penyuluh pertanian dan perkebunan. Masyarakat yang memproduksi akan menikmati tingkat harga yang relatif baik dan pembelipun akan memperoleh harga yang murah karena ongkos transportasi rendah. Dengan demikian maka pepatah lama ” kali ilang kedunge, pasar ilang gaunge – sungai semakin dangkal dan pasar (tradisional) menjadi sepi” sedikit terbantahkan. Walau’alam bi sawab. (Penulis: Peneliti Poltek Piksi Input Serang & Penggiat Klinik Produktivitas Provinsi Banten/BE)

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP