Ada apa dengan ekonomi kerakyatan (ekora)? Kenapa semua Capres menjual isu ini dalam agenda perbaikan ekonomi rakyat bawah? Padahal dalam prakteknya, yang sudah-sudah, jauh panggang dari api. Para ‘penguasa’ selalu bilang pemberdayaan ekonomi rakyat, prakteknya justru tidak jarang menyingkirkan ekonomi rakyat.
Hari itu, seolah menjadi hari yang apes bagi Soleman (bukan nama sebenarnya, red). Betapa, setiap hari ia menggantungkan nasib dapurnya dengan berjualan kaki lima disebuah kawasan perdagangan di Banten. Semuanya berjalan seperti biasa, tak ada masalah. Malah, bila ada ‘petugas retribusi kebersihan dan keamanan, ia pun tidak banyak omong. “ya….., kan itu juga untuk kepentingan kita”, begitulah pikir Soleman sebelumnya.
Entah mimpi apa, saat itu pagi menjelang siang, sekira pukul 10.00, dagangan Soleman harus segera dikemas. Padahal, baru saja ia menggelar dagangannya. Kalau tidak, tahu sendiri, lapak dagangannya bakal ‘diamankan’ petugas.
“Ya…. Begitulah kang, nasib kami para pedagang kecil,” ungkap Soleman, saat ngobrol lepas di kiosnya, yang sangat jauh dari ukuran kelayakan usaha, orang-orang yang selalu bankisme.
Sendiriankah Soleman? Tidak. Banyak sekali semacam sosok Soleman, yang jungkir balik mengejar nafkah, walaupun terkadang kucing-kucingan dengan petugas. Mereka ada di seluruh wilayah Banten. Ironisnya, saat mereka memulai usaha, aparat pemerintah yang berwenang mengatur ‘zonasi’ usaha, bersikap biasa-biasa saja. Tapi, setelah mereka merasa tentram berjualan dan bisa menghidupi anak istrinya, tidak jarang digusur. Katanya, demi kebersihan dan keindahan kota.
Sedikit saja kita mau menelusur. Setiap pemerintah daerah (kabupaten/kota) di Banten, akan merenovasi --bahkan ada yang merelokasi sebuah pasar, yang terkorbankan adalah pedagang-pedagang kecil, yang bermodal cekak dan sangat tidak hapal dengan perbankan. Lantas kebijakan seperti apa, yang akan diberlakukan dan harus dipatuhi oleh para pelaku ekonomi kecil (baca: kerakyatan)?
Mereka para pelaku ekonomi kecil yang tersingkirkan itu, umumnya minim akses dengan kalangan pengambil kebijakan. Baik dalam lingkup pemerintahan daerah maupun posisi tawar dengan ‘kelompok’ pengembang.
“Ini bukan nasib. Tapi sebuah bukti, masih belum berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap pelaku usaha kecil,” ungkap Johari, aktifis Parlemen Pemuda Indonesia.
Dalam tulisannya, Mardiyatmo Hutomo, menyatakan bahwa rumusan konstitusi kita yang menyangkut tata ekonomi yang seharusnya dibangun, belum cukup jelas sehingga tidak mudah untuk dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam (semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi pengusanya). Tetapi dari analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya cukup jelas.
Ruh tata ekonomi usaha bersama yang berasas kekeluargaan, ujar Staf Ahli pada Proyek Pengembangan Prasarana Perdesaan di Bappenas itu, adalah tata ekonomi yang memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk berpartisiasi sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yang seharusnya dibangun adalah bukan tata ekonomi yang monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yang dituntut konstitusi adalah tata ekonomi yang memberi peluang kepada seluruh rakyat atau warga negara untuk memiliki aset dalam ekonomi nasional.
Tata ekonomi nasional adalah tata ekonomi yang membedakan secara tegas barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan ekonomi, walaupun dalam penjelasan pasal 33 dinterpretasikan sebagai bentuk koperasi, tetapi tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan
Mana Wilayah Rakyat?
Sudah jatuh tertimpa tangga. Ungkapan ini, layak pula disandang kaum pedagang dan pelaku ekonomi kecil, yang bermodal pas-pasan. Betapa, mereka banyak yang sudah tersingkir, kini harus berhadapan dengan kekuatan kelompok pelaku ekonomi kakap, yang sama-sama bertarung di pangsa pasar, yang sepantasnya garapan kelompok ekonomi kecil.
Tak percaya? Coba tengok deretan rak-rak di minimarket dan supermarket. Bedakah yang mereka jual, dengan yang dijual kelompok pedagang kecil di pasar-pasar tradisional, warung-warung kecil atau kaki lima. Nyaris sama. “Inilah sebetulnya yang menjadi pemicu persaingan yang tidak seimbang. Seharusnya, pemerintah daerah lebih memikirkan ekonomi rakyat kecil,” ungkap Gili, Pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Serang.
Ketidakseimbangan dan merasa diperlakukan tidak adil, ini pula yang memicu kelompok-kelompok pedagang kecil mengorganisir diri. Bahkan, beberapa waktu lalu mereka sempat melakukan aksi-aksi jalanan. Karena saluran aspirasi mereka di lembaga parlemen daerah tersumbat. Sayangnya, organisasi-organisasi pedagang kecil ini, akhirnya banyak melahirkan petualang-petualang, dan bergerak untuk kepentingan sendiri dengan mengatasnamakan kelompok pedagang kecil.
“Itu hanya sebuah ekses saja. Intinya bukan disitu, pemerintah daerah dan kalangan wakil rakyat, harus cepat tanggap. Keputusan yang diambil, jangan mengacu pada keinginan penguasa tapi harus bermuara pada kebutuhan riil masyarakat kecil,” kilah Gili.
Menyikapi persoalan ini, lanjut Gili, memang harus bijak. Kuncinya ada di kalangan pemutus kebijakan. Celakanya, tidak jarang kebijakan yang diambil cenderung merugikan kelompok pelaku ekonomi kecil, dengan dalih untuk kemajuan daerah dan menambah pendapatan.
Menyoal ekonomi kerakyatan, tentu saja bukan sebatas pada kelompok para pedagang kecil dan mikro. Termasuk juga, mereka kelompok petani penggarap, buruh tani dan kelompok-kelompok warga miskin, yang hidup di sekitar hutan. Bahkan, kelompok yang terkahir ini, tidak jarang diklasifikasikan sebagai kelompok perambah hutan.
Ironisnya lagi, ketika mereka melakukan penambangan di wilayah hutan atau mereka yang buka lahan, selalu dipersalahkan. Betulkah demikian? Sementara, kelompok hilir –yang umumnya masuk kategori pelaku ekonomi menengah dan atas, tidak dipersalahkan. “Padahal, merekalah yang menikmati nilai lebihnya. Kalau yang disebut kecil-kecil itu, kan tenaganya doang, hasilnya mah sedikit,” ujar Arif aktivis LSM Pusaka Banten.
Jelas sudah, pemihakan terhadap wilayah ekonomi rakyat, baik pedagang kecil, petani penggarap dan buruh tani, maupun mereka yang selalu dianggap merambah hutan dan selalu dipersalahkan merusak lingkungan, masih kurang. Berharap pada mereka yang duduk di lembaga legislatif, sah-sah saja. Pun demikian, berharap dengan kepentingan eksekutif di pemerintahan daerah.
Ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi rakyat, sama halnya dengan ekonomi kapitalis liberal atau ekonomi sosialis komunis, adalah watak atau tatanan ekonomi. Ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi dimana, pemilikan aset ekonomi harus didistribusikan kepada sebanyak-banyaknya warga negara. Pendistribusian aset ekonomi kepada sebanyak-banyaknya warga negara yang akan menjamin pendistribusian barang dan jasa kepada sebanyak-banyaknya warga negara secara adil. Dalam pemilikan aset ekonomi yang tidak adil dan merata, maka pasar akan selalu mengalami kegagalan, tidak akan dapat dicapai efisiensi yang optimal (Pareto efficiency) dalam perekonomian, dan tidak ada invisible hand yang dapat mengatur keadilan dan kesejahteraan.
Berubahkah nasib ekora, ketika republik ini punya pemimpin baru? Wait and see. Mungkin itulah jawaban sementara. (S.age_BE)
Read more...